Agama sebagai Modal Budaya

March 6, 2008

Oleh: M Hilaly Basya

Semangat keagamaan dalam masyarakat Indonesia relatif tinggi. Antusiasme kegiatan agama terlihat cukup besar, sebagaimana tercermin dari maraknya pengajian-pengajian dalam masyarakat. Bahkan sebagian dari kegiatan keagamaan tersebut disiarkan oleh stasiun TV. Peningkatan itu menunjukkan adanya kegairahan terhadap agama yang semakin menguat.

Kecenderungan ini beriringan dengan kecanggihan teknologi informasi, sehingga daya jangkau dakwah dapat melintasi ruang dan waktu. Hal ini berpengaruh terhadap kemudahan dalam menerima dakwah ajaran agama. Karena itu tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor yang memungkinkan menguatnya gairah keagamaan ini adalah teknologi informasi tersebut.

Agak Mengherankan
Dalam batas-batas tertentu, meningkatnya gairah keagamaan ini agak mengherankan. Mengingat bahwa antusiasme itu terjadi justru di kalangan masyarakat kota yang dalam segi pendidikan juga cukup well educated. Dengan kata lain semangat keagamaan itu terjadi dalam masyarakat yang sejauh ini menopang modernisasi.

Menurut Jose Casanova, meskipun modernisasi membawa implikasi sekularisasi, namun hal itu tidak serta merta mematikan peran agama dalam masyarakat. Dalam studinya, Casanova menemukan bahwa sekularisasi cenderung berdampak positif bagi agama. Temuan ini memang sangat berbeda dengan apa yang diramalkan oleh Max Weber ataupun Durkheim, bahwa sekularisasi membawa konsekuensi merosotnya ajaran agama. Banyak kasus di beberapa negara yang menunjukkan hal sebaliknya, salah satunya adalah Indonesia.

Gambaran kondisi keberagamaan beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang stabil ke arah positif. Sebagian memang ada yang merepresentasikan resistensi terhadap modernitas, tetapi jumlahnya sangat kecil. Sebagian besar mencerminkan adanya keselarasan antara keagamaan dan kemodernan. Mereka tidak melihat agama sebagai sesuatu yang berhadapan ataupun bertentangan dengan modernitas. Hal ini merupakan kemajuan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di tahun 1950-an hinga 1970-an, dimana umat Islam merasakan adanya pertentangan antara menjadi Muslim dan warga negara Indonesia.

Saat itu, hampir mustahil menjadi Muslim yang kaaffah (komprehensif atau paripurna) jika hidup dalam sistem negara Indonesia.
Perubahan pandangan keberagamaan, dari pertentangan menuju kompatibilitas dan sinergi, menggambarkan arah perkembangan yang positif.

Penerimaan mereka (umat Islam) terhadap sistem Indonesia modern (sekular) tidak serta merta menjauhkan mereka dari Islam. Di satu sisi mereka adalah warga negara Indonesia yang berkomitmen penuh terhadap nilai-nilai ke-Indonesiaan yang modern, dan di lain sisi mereka juga seorang Muslim yang taat terhadap ajaran agamanya. Bahkan dalam banyak hal menunjukkan bahwa proses modernisasi itu ditopang oleh nilai-nilai keberagamaan mereka.

Modal Budaya
Dalam situasi dan kecenderungan seperti ini, perayaan Idul Adha, Natal, dan hari-hari besar agama lainnya memiliki kelebihan tersendiri. Perayaan hari raya tersebut merupakan salah satu bentuk pengayaan pengalaman spiritual (ruhani) yang dapat memberikan inspirasi atau jalan terang kepada nilai-nilai kemanusiaan.

Sebenarnya, pengalaman spiritual serupa sudah dialami bangsa Indonesia sejak lama, jauh sebelum kedatangan empat agama besar dunia (Islam, Kristen, Hindu, dan Budha). Dengan demikian nilai-nilai yang selama ini menopang tatanan budaya masyarakat Indonesia memang tidak bisa dilepas dari peran agama. Evolusi agama yang terjadi pun sebenarnya dapat dilihat dari konsekuensi logis dari pengalaman keberagamaan itu sendiri, yang menurut Imanuel Kant cenderung menuju kedewasaan dan kematangan. Kompatibilitas agama dan modernisasi juga dapat dilihat sebagai proses kematangan dan kedewasaan keberagamaan tersebut.

Hal ini menggambarkan bahwa agama merupakan modal budaya. Pemelukan terhadap agama tidak menjadikan seseorang tertutup terhadap perubahan. Nilai-nilai agama yang mereka anut justru mengondisikan mereka untuk merenungi dan meresapi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan, yang sangat berguna bagi perubahan sosial. Sejarah yang menunjukkan adanya keterlibatan dan peran agama dalam melegitimasi penindasan harus dilihat dari perspektif politisasi agama, di mana agama tidak dihayati sebagai sesuatu yang transendental berorientasi kemanusiaan, melainkan lebih sebagai alat untuk mendominasi dan menaklukkan yang lain.

Oleh karena itu, kecenderungan ini merupakan penyimpangan terhadap raison d’etre keberagamaan itu sendiri. Pergulatan sejarah kehidupan menunjukkan bahwa ketertarikan manusia terhadap agama timbul dari kebutuhan personal akan sesuatu yang suci dan transenden, yang dapat menginspirasi ke arah penghayatan kehidupan yang lebih baik.

Sumber ; http://www.rakyataceh.com